TANTANGAN BERAGAMA DI ERA GLOBALISASI

TANTANGAN BERAGAMA DI ERA GLOBALISASI Kamaluddin Nurdin Marjuni

Globalisasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan meningkatnya keterhubungan dan saling ketergantungan budaya dan perekonomian dunia, ini adalah proses mengecilkan dunia, memperpendek jarak, dan mendekatkan segala sesuatunya. Hal ini konsisten dengan semakin mudahnya seseorang di satu belahan dunia berinteraksi, demi kepentingan bersama, dengan orang di belahan dunia lain (Roland Robertson, (2000). Globalisasi memainkan peranan penting dalam mendorong umat Muslim untuk merefleksikan kembali keyakinan kolektif mereka mengenai Islam sebagai agama yang holistik. Konsep "satu agama, satu budaya, dan satu umat" ini menekankan bahwa Islam tidak hanya berfungsi sebagai sistem kepercayaan pribadi, tetapi juga sebagai panduan kehidupan menyeluruh yang mencakup aspek sosial, politik, dan budaya. Dalam konteks globalisasi, umat Muslim di seluruh dunia semakin terdorong untuk menyadari bahwa mereka adalah bagian dari komunitas global dengan misi dan tujuan bersama. Firman Allah dalam Surah Al-Anbiya ayat 92:

إِنَّ هَٰذِهِۦٓ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَأَنَا۠ رَبُّكُمْ فَٱعْبُدُونِ

“Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku” (Al-Anbiya: 92). Ibnu 'Asyur menggarisbawahi pentingnya tauhid sebagai fondasi keimanan yang membedakan Islam dari agama-agama yang menyekutukan Allah. Tafsir ini menyoroti bagaimana konsep keesaan Allah menjadi dasar bagi persatuan umat Muslim meskipun mereka tersebar dalam berbagai budaya yang berbeda. (Ibnu ʿĀshūr, Muḥammad al-Ṭāhir, 2000). Interaksi antar budaya akibat globalisasi memang membuka ruang bagi umat Muslim untuk lebih memahami dan menghargai keberagaman dalam praktik Islam di berbagai konteks geografis dan budaya. Fenomena ini juga memperkuat kesadaran bahwa Islam adalah satu kesatuan yang menyatukan umat melalui prinsip tauhid dan nilai-nilai universalnya, meskipun detail praktik keagamaan dapat bervariasi. Olivier Roy, penulis buku “Secularism Confronts Islam” membahas bagaimana globalisasi menawarkan peluang bagi kelompok tertentu untuk kembali pada nilai-nilai Islam yang dianggap autentik. Bagi kelompok “Neo-Fundamentalis”, globalisasi dipandang sebagai alat untuk mempererat ikatan umat dengan mengedepankan ajaran-ajaran yang dianggap lebih “murni” dan mengesampingkan tradisi lokal yang mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan Islam. Ini menunjukkan adanya dua sisi dari globalisasi: di satu sisi, ia menghadirkan tantangan terhadap tradisi lokal, tetapi di sisi lain, ia juga menyediakan kesempatan untuk memperkuat identitas Islam secara global .

Islamisme atau “Politik Islam” adalah ideologi yang menganggap Islam sebagai panduan utama dalam setiap aspek kehidupan umat Islam, mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, serta kehidupan pribadi. Dalam pandangan ini, hukum dan ajaran Islam tidak hanya relevan untuk kehidupan spiritual, tetapi juga sebagai dasar dalam pemerintahan dan kebijakan publik. Para pendukung Islamisme sering mengadvokasi penerapan prinsip dan hukum Islam secara komprehensif, termasuk pembentukan sistem politik dan hukum yang sejalan dengan syariat Islam. Namun, terdapat beragam pandangan dalam penerapan Islamisme di kalangan umat Islam, yang mencerminkan variasi dalam ideologi dan strategi antara berbagai gerakan Islamisme, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun Islamisme memiliki tujuan yang serupa dalam penegakan nilai-nilai Islam di ruang publik, perbedaan interpretasi dan pendekatan menimbulkan spektrum gerakan yang berbeda dalam lingkup global. (Grinin, Leonid, 2021).

Dalam konteks praktik beragama, globalisasi membawa tantangan berupa dua kecenderungan ekstrem: ifrath (ekstremisme) dan tafrith (liberalisme). Kedua sikap ini dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari prinsip “wasatiyyah” atau moderasi yang sangat dianjurkan dalam Islam. Prinsip wasatiyyah mengajarkan keseimbangan dalam menjalankan agama, mendorong umat untuk tidak melampaui batas (ifrath) dalam praktik keagamaan hingga menjadi ekstrem, namun juga tidak mengabaikan atau melalaikan ajaran (tafrith) hingga kehilangan esensi agama itu sendiri. Moderasi ini merupakan pendekatan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, yang memberikan teladan dalam menjalankan ajaran Islam dengan keseimbangan dan keharmonisan, sehingga umat Islam dapat menjalankan ajaran agama sesuai dengan inti yang diajarkan oleh syariat. Dengan berpegang pada prinsip “wasatiyyah (moderasi), umat Islam diharapkan mampu menghadapi tantangan globalisasi sambil mempertahankan identitas keislaman mereka. Moderasi ini menghindarkan umat dari kecenderungan ekstremisme, yang dapat membawa dampak merusak, serta dari liberalisme yang mungkin mengabaikan nilai-nilai prinsip Islam. Melalui pendekatan ini, Islam dapat tetap relevan dan harmonis dalam konteks global, mencerminkan sifatnya sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ajaran ini sesuai dengan penegasan al-Qur'an:

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (al-Anbiyaa: 127). Ayat ini menekankan misi Rasulullah Saw sebagai pembawa rahmat (kasih sayang) yang mencakup seluruh makhluk dan alam semesta. Prinsip rahmatan lil ‘alamin ini selaras dengan esensi moderasi dalam Islam, yaitu mengajak umat untuk mempraktikkan agama dengan sikap yang bijak, adil, dan seimbang. Dengan demikian, Islam mampu berkontribusi pada kedamaian dunia dan menjadi teladan dalam membangun hubungan yang sehat antara umat Islam dan masyarakat global.

Ifrath (Ekstrem) Salah satu contoh ekstremisme dalam sejarah Islam adalah kelompok “Khawarij” yang muncul pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Mereka memisahkan diri karena ketidakpuasan terhadap keputusan perdamaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Khawarij kemudian menganggap kelompok lain, termasuk para sahabat Nabi, sebagai tidak beriman dan memicu teror terhadap mereka yang berbeda pandangan. Islam menekankan pentingnya keseimbangan dalam beragama. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah, ayat 143:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

"Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat Islam umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kamu" (QS. Al-Baqarah: 143).

Selain itu, Nabi Muhammad SAW memperingatkan tentang bahaya sikap berlebihan dalam beribadah:

إياكم والغلو في الدين فإنه أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين

"Janganlah kamu berlebihan dalam agama! Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kamu adalah karena mereka ekstrem dalam beragama." (Sunan Ibnu Majah, no: 3020). Dari Ishaq bin Suwaid, ia berkata: "Abdullah bin Mutarrif melakukan banyak ibadah. Maka Mutarrif berkata kepadanya, 'Wahai Abdullah, ilmu itu lebih utama daripada amal, dan kebaikan itu berada di antara dua keburukan. Sebaik-baik perkara adalah yang di tengah-tengah, dan seburuk-buruk jalan adalah jalan yang terlalu memaksa. Abu Ubaid berkata: "Adapun perkataannya 'kebaikan berada di antara dua keburukan,' seolah-olah ia bermaksud bahwa berlebihan dalam amal adalah keburukan dan terlalu sedikit dalam amal juga keburukan, sedangkan kebaikan itu berada di antara keduanya, yaitu jalan yang sedang (moderat). (Abū Bakr, al-Bayhaqī, 2003). Berikut contoh-contoh kecil sikap ekstremisme dalam praktik keagamaan:

1. Berlebihan dalam Ibadah.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, pernah ada sekelompok sahabat yang berlebihan dalam beribadah. Salah seorang dari mereka mengatakan tidak tidur malam dan akan terus beribadah seharian penuh, yang lain mengatakan akan terus berpuasa tanpa berbuka, dan yang lain lagi mengatakan akan meninggalkan pernikahan untuk lebih fokus pada perkara ibadah. Ketika hal ini sampai kepada Rasulullah Saw, beliau menegur mereka, sebagaimana dalam hadis berikut:

عبد الله بن عمرو بن العاص - رضى الله عنهما - يقول بلغ النبى -صلى الله عليه وسلم- أنى أصوم أسرد وأصلى الليل فإما أرسل إلى وإما لقيته فقال: «ألم أخبر أنك تصوم ولا تفطر وتصلى الليل فلا تفعل فإن لعينك حظا ولنفسك حظا ولأهلك حظا. فصم وأفطر وصل ونم وصم من كل عشرة أيام يوما ولك أجر تسعة». قال: إنى أجدنى أقوى من ذلك يا نبى الله. قال: « فصم صيام داود عليه السلام ». قال: وكيف كان داود يصوم يا نبى الله قال: «كان يصوم يوما ويفطر يوما ولا يفر إذا لاقى». قال: من لى بهذه يا نبى الله قال عطاء: فلا أدرى كيف ذكر صيام الأبد. فقال النبى -صلى الله عليه وسلم: «لا صام من صام الأبد لا صام من صام الأبد لا صام من صام الأبد».

“Abdullah bin Amru bin Al Ash ra, berkata; Telah sampai berita kepada Nabi Saw, bahwa saya berpuasa setiap hari dan shalat sepanjang malam. Kemungkinan beliau yang mengutus seseorang kepadaku, atau mungkin juga saya yang berjumpa dengan beliau. Kemudian beliau bertanya: "Benarkah kabar yang menyatakan bahwa kamu berpuasa dan tidak pernah berbuka, dan kamu juga shalat sepanjang malam (tidak tidur)? Janganlah kamu lakukan, karena kedua matamu juga mempunyai hak, dirimu mempunyai hak, dan keluargamu juga memiliki hak. Karena itu, hendaklah kamu berpuasa dan juga berbuka, kamu shalat dan juga tidur. Kemudian berpuasalah sehari dalam setiap sepuluh hari, maka kamu akan mendapatkan ganjaran pahala sembilan kali." Ia berkata, "Sungguh, saya masih kuat lebih dari itu wahai Nabiyullah." Beliau menjawab: "Kalau begitu lakukanlah puasa Dawud 'Alahis salam." Abdullah bertanya, "Bagaimanakah Nabi Dawud berpuasa wahai Nabiyullah?" beliau menjawab: "Nabi Dawud berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan Nabi Dawud juga tidak kabur melarikan diri dari medan peperangan, tepatnya ketika berhadapan dengan musuh." Abdullah bertanya lagi, "Lalu ganjaran apa yang saya dapatkan dari puasa ini wahai Nabiyullah?" Atha` berkata; Saya tidak tahu bagaimana ia menyebutkan puasa sepanjang masa. Kemudian Nabi Saw menajawab: "Tidak akan mendapatkan pahala puasa, bagi siapa saja yang berpuasa sepanjang masa. Tidak akan mendapatkan pahala puasa, bagi siapa saja yang berpuasa sepanjang masa."Aku berpuasa, tetapi aku juga berbuka; aku shalat malam, tetapi aku juga tidur; dan aku menikah dengan wanita. Barang siapa tidak suka kepada sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku." (Muslim, no: 2791). Dari hadits ini jelas terlihat bahwa berlebihan dalam ibadah, yang di luar tuntunan Rasulullah Saw, juga termasuk dalam kategori ifrath/ekstrem.

2. Berlebihan dalam Memberikan Pandangan Hukum.
Sikap berlebihan dalam berpandangan dan berasumsi juga merupakan bentuk ekstremisme. Misalnya, mengharamkan sesuatu yang sebenarnya dibolehkan dalam Islam dengan alasan kehati-hatian yang berlebihan dapat mengganggu kesejahteraan umat. Ini sering kali terjadi dan menyebabkan kekakuan dalam praktik sosial serta menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. seperti: melarang seluruh jenis transaksi perbankan (segala sesuatu yang menyangkut Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, beserta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya), termasuk layanan perbankan syariah, menyebabkan kecemasan dan merugikan masyarakat yang memerlukan layanan keuangan sesuai syariat. Mengatur jenis atau warna pakaian seseorang dengan alasan “bid’ah” mempersempit kebebasan berpenampilan masyarakat. Melarang Vaksinasi, pandemi COVID-19 memang memperlihatkan beragam pandangan, termasuk dari sebagian agamawan yang menentang vaksinasi, meskipun tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Beberapa di antaranya mengeluarkan fatwa yang melarang vaksinasi dengan alasan tertentu, seperti kekhawatiran tentang bahan yang tidak halal atau keraguan mengenai keamanan vaksin. Sayangnya, pandangan seperti ini turut memicu ketidakpercayaan terhadap upaya kesehatan publik, dan menimbulkan dampak serius bagi kesehatan masyarakat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan berbagai lembaga kesehatan telah menjelaskan bahwa vaksin COVID-19 melalui uji coba ketat untuk memastikan keamanannya. Selain itu, banyak ulama dan lembaga keagamaan besar, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan al-Azhar, juga telah menyatakan dukungannya terhadap vaksinasi COVID-19, menekankan bahwa vaksinasi adalah bentuk ikhtiar yang dibenarkan dalam Islam untuk melindungi diri dan orang lain. Penolakan terhadap vaksinasi COVID-19 sebetulnya menunjukkan masih kuatnya fenomena anti-vaksin di Indonesia dan juga di dunia secara umum. Faktor yang melatarbelakangi biasanya berbeda-beda di setiap negara karena berkaitan dengan kondisi sosial budaya setempat seperti agama. Agama menjadi salah satu alasan penolakan vaksin di Indonesia, yang berpenduduk mayoritas Muslim. Salah satu alasan penolakan terhadap vaksin di Indonesia adalah kekhawatiran terhadap kehalalan dari kandungan vaksin tersebut. Fatwa atau pandangan yang menolak vaksin tanpa dasar ilmiah saat pandemi ini menunjukkan perlunya edukasi yang tepat mengenai ilmu kesehatan dan dampak pandemi. Sikap wasatiyyah (moderat) dalam agama dapat membantu menyeimbangkan antara keyakinan agama dan ilmu pengetahuan, sehingga umat tetap menjalankan ajaran agama tanpa mengabaikan kesehatan dan keselamatan bersama.

Dampak negatif ifrath atau sikap ekstrem dalam beragama dapat dilihat dari berbagai sudut:

1. Ketidakseimbangan Spiritual: Praktik ibadah yang berlebihan menyebabkan kelelahan fisik dan mental, serta mengganggu kesehatan individu. Ini dapat membuat seseorang merasa terbebani, kehilangan motivasi, dan mengabaikan kesehatan serta hubungan sosial.

2. Pemecah Belah Masyarakat: Sikap ekstrem menciptakan perpecahan, seperti contoh Khawarij, dan memisahkan umat dalam kelompok-kelompok yang merasa lebih benar. Ekstremisme sering menimbulkan konflik, diskriminasi, dan menghambat kerjasama, yang akhirnya merusak perdamaian dan stabilitas.

3. Memperburuk Citra Islam: Sikap berlebihan dalam dakwah atau penerapan syariat dapat menciptakan stereotip negatif dan sentimen anti-Islam. Hal ini melemahkan dialog antaragama dan mengabaikan pesan inti Islam yang damai, toleran, dan penuh kasih sayang.

Dengan demikian, Ifrath (ekstrem) atau sikap berlebihan bertentangan dengan prinsip moderasi dalam Islam. Ciri-ciri utama ifrath termasuk kekakuan berlebih, keterisolasian, dan potensi radikalisme yang merusak hubungan sosial dan stabilitas kehidupan. Umat Islam dianjurkan untuk tetap berada pada jalan moderat demi kedamaian dan keharmonisan masyarakat. Apapun halnya, dalam Islam, prinsip “wasatiyyah” atau moderasi penting dijaga agar keberagamaan tetap proporsional dan bermanfaat bagi umat. Penyimpangan dalam bentuk ifrath atau ekstremisme tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang mempromosikan keseimbangan, rahmat, dan kemudahan bagi umat.

Tafrith (liberalisme)

Tafrith, atau yang sering diartikan sebagai liberalisme, merujuk pada sikap yang meremehkan, lalai, atau kurang dalam menjalankan ajaran agama. Istilah ini bertentangan dengan ifrath, yang berarti ekstrem atau berlebihan dalam praktik keagamaan. Dalam konteks Islam, tafrith berarti pengabaian terhadap kewajiban dan prinsip-prinsip ajaran agama, di mana individu lebih mengedepankan kebebasan pribadi, rasionalitas, dan hak asasi manusia yang sering diasosiasikan dengan pemikiran liberal. Namun perlu dicatat bahwa Dalam konsep Islam, "tafrit" mengacu pada kelalaian atau kecerobohan dalam menjalankan kewajiban agama atau moral. Ini mencakup sikap lemah dalam menerapkan hukum syariah atau mengabaikan sebagian aspek-aspek agama. Sementara itu, dalam konteks pemikiran sosial dan politik, "liberalisme" merujuk pada sebuah filosofi yang menekankan pada kebebasan individu, hak asasi manusia, dan pluralisme.Oleh karena itu, tidak akurat untuk mengatakan bahwa "tafrit adalah liberalisme" secara langsung. Namun, tafrit dapat dikaitkan dengan aliran atau pemikiran yang mendorong pelonggaran dalam komitmen terhadap beberapa aspek agama atau sosial, yang terkadang dapat sejalan dengan bentuk-bentuk liberalisme yang mendorong pembebasan dari batasan tradisional. Namun demikian, tidak semua orang yang memiliki pandangan liberalisme berarti bersikap tafrit dalam beragama, dan tidak semua bentuk tafrit terkait dengan liberalisme.

Liberalisme muncul sebagai konsekuensi dari Zaman Pencerahan (Enlightenment) di Eropa, di mana para pemikir mulai menuntut kebebasan dari batasan agama dan politik. Pemikiran ini mengedepankan kebebasan berpikir, berekspresi, dan prinsip ekonomi yang menekankan pada pasar bebas. Dalam konteks keagamaan, liberalisme sering kali ditafsirkan dengan pendekatan yang lebih terbuka, yang berusaha mengadaptasi ajaran agama dengan nilai-nilai modern dan perkembangan zaman. (Luke W. Galen. 2016). Liberalism muncul sebagai reaksi yang tidak sadar terhadap ketidakadilan gereja dan feodalisme, kemudian berkembang di setiap negara dengan cara yang spesifik, dan menjadi penyebab di balik revolusi besar di dunia Barat (revolusi Inggris, Amerika, dan Prancis). Namun, titik-titik temu tidaklah cukup jelas, seperti yang ditunjukkan oleh keragaman arah dan alirannya. Ketidakjelasan yang melekat pada istilah "liberalisme," yang sering kali menjadi sumber perdebatan dan kontroversi. Dalam konteks ini, kita dapat menggali lebih dalam mengenai pengertian kebebasan dalam liberalisme, serta implikasi yang muncul dari berbagai interpretasi tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam “Ensiklopedia Britania”, liberalisme seringkali dipandang sebagai istilah yang kabur, di mana para pemikir dan aktivis dapat menemukan sejumlah ciri khas yang berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam mendefinisikan secara tepat apa itu liberalisme, yang sering kali diartikan secara bervariasi oleh berbagai aliran dan individu. Kecenderungan untuk memperdebatkan makna kebebasan adalah salah satu penyebab utama ketidakjelasan ini. Kebebasan, sebagai prinsip fundamental dalam liberalisme, dipahami dan diinterpretasikan secara berbeda oleh berbagai kelompok. Misalnya, kebebasan individual dalam konteks liberal klasik berfokus pada kebebasan dari intervensi negara, sementara pendekatan lain mungkin menekankan pentingnya kebebasan sosial dan ekonomi sebagai prasyarat untuk mencapai kesetaraan dan keadilan. Ketidakjelasan ini dapat menyebabkan munculnya friksi antara aliran-aliran dalam liberalisme, serta membentuk landasan bagi paham-paham yang tampak bertentangan namun masih mengklaim diri mereka sebagai bagian dari tradisi liberal.

Dalam upaya untuk memahami perbedaan ini, konsep kebebasan negatif dan positif sering diusulkan. Kebebasan negatif, yang sering diasosiasikan dengan pemikiran klasik seperti yang diungkapkan oleh John Stuart Mill, menekankan pada pengurangan atau penghilangan batasan-batasan yang dikenakan oleh pihak lain, termasuk negara. Dalam pandangan ini, kebebasan individu adalah hak asasi yang harus dilindungi dari campur tangan eksternal. Pendekatan ini sangat menghargai otonomi pribadi dan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keinginan individu, asalkan tidak merugikan orang lain. (Larsen, Timothy. 2018). Sebaliknya, kebebasan positif, yang dikemukakan oleh pemikir seperti Isaiah Berlin, memfokuskan pada pencapaian kapasitas individu untuk merealisasikan potensi mereka. Dalam perspektif ini, kebebasan bukan hanya tentang ketiadaan batasan, tetapi juga tentang memberikan akses dan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan aspirasi individu. Hal ini mencakup intervensi aktif oleh negara atau masyarakat untuk menciptakan kondisi yang mendukung bagi individu dalam mencapai kebebasan mereka. Ketidakjelasan dan ambiguitas dalam konsep kebebasan ini dapat menimbulkan pertikaian yang tajam antara berbagai paham liberal dan ideologi lainnya. Misalnya, fasisme dan nazisme sering kali mengklaim memiliki agenda kebebasan, meskipun dalam praktiknya mereka mengekang kebebasan individu demi kepentingan kolektif yang ditentukan oleh negara atau ideologi tertentu. Sementara itu, komunisme juga mengklaim sebagai representasi dari kebebasan, dengan menekankan pada kesetaraan sosial dan ekonomi, meskipun sering kali mengorbankan kebebasan individu dalam prosesnya. Masing-masing paham ini berupaya untuk mengklaim warisan dan prinsip-prinsip dari Era Pencerahan, yang seharusnya mendukung kebebasan dan kemajuan. Namun, pertikaian ini menunjukkan bahwa kebebasan, meskipun dianggap sebagai komponen dasar liberalisme, dapat dimanipulasi untuk mendukung berbagai agenda politik yang berlawanan. Hal ini menciptakan suasana ketidakpastian dan kebingungan yang dapat merugikan upaya untuk membangun pemahaman yang lebih komprehensif tentang liberalisme dan kebebasan. Dalam prakteknya, liberalisme keagamaan dapat terlihat dalam:

1. Toleransi terhadap Perbedaan: Toleransi terhadap perbedaan dalam konteks agama adalah sikap yang menerima berbagai interpretasi ajaran Tuhan, menekankan bahwa tidak ada satu cara yang benar dalam memahami keyakinan. Sikap ini bertujuan untuk memperkuat persatuan, mendorong dialog konstruktif, dan menciptakan lingkungan damai di mana semua orang merasa diterima. Namun toleransi yang berlebihan mendatangkan hal negatif, sebab tantangan yang muncul termasuk ambiguitas moral, relativisme, pengurangan nilai kebenaran, risiko kehilangan identitas agama, dan kurangnya ketegasan dalam membela ajaran. Oleh karena itu, penting untuk mencari keseimbangan antara toleransi dan komitmen terhadap kebenaran agar masyarakat dapat hidup harmonis sambil tetap menghargai keyakinan masing-masing.

2. Penekanan pada Kebebasan Individu. Penekanan pada kebebasan individu dalam konteks agama adalah penting untuk menghormati hak asasi manusia dan mendorong pertumbuhan spiritual. Kebebasan ini memberikan hak setiap orang untuk memilih dan menjalankan ibadah sesuai dengan pemahaman dan keyakinan mereka sendiri, sehingga memungkinkan individu mengeksplorasi hubungan yang lebih otentik dengan ajaran agama. Namun kebebasan tanpa batas akan berakibat fatal, sebab terdapat risiko bahwa kebebasan ini dapat mengarah pada pengabaian praktik-praktik syariat yang telah ditetapkan dan pergeseran nilai-nilai tradisional. Jika individu terlalu fokus pada interpretasi pribadi tanpa mempertimbangkan ajaran yang lebih luas, hal ini bisa mengakibatkan fragmentasi dalam komunitas beragama. Oleh karena itu, penting untuk menyeimbangkan kebebasan individu dengan penghormatan terhadap praktik dan pedoman syariat, sehingga tujuan spiritual dan kolektif dalam agama tetap terjaga. Melalui upaya bersama untuk menemukan keseimbangan ini, masyarakat dapat hidup dalam harmoni, menghargai keunikan individu, sambil tetap menjaga dan menghormati tradisi agama yang telah ada.

Dengan demikian, sikap tafrith (liberal) dalam konteks keagamaan dapat memiliki dampak negatif signifikan bagi individu dan masyarakat. Pertama, pengabaian nilai-nilai fundamental, dapat terjadi ketika individu lebih menekankan kebebasan pribadi, sehingga nilai inti Islam terpinggirkan. Kedua, sikap ini dapat menjauhkan individu dari komitmen dan ketaatan beragama, yang mengakibatkan lemahnya hubungan dengan Tuhan dan kerusakan dalam interaksi sosial, karena prinsip moral mungkin tidak lagi dipegang. Ketiga, tafrith berpotensi merusak integritas sosial, menciptakan ketidakharmonisan di masyarakat akibat mengacak-acak syariat Islam. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan kewajiban religius demi integritas keagamaan dan sosial.

Kesimpulan:

Globalisasi menghadirkan dinamika baru bagi umat Islam dalam menjalankan keyakinan mereka. Proses ini memperluas interaksi lintas budaya dan ekonomi, serta menyatukan umat dalam skala global, menciptakan kondisi yang mendesak umat Islam untuk memahami esensi agama sebagai pedoman hidup yang komprehensif, mencakup aspek spiritual, sosial, dan politik. Ayat Al-Qur'an dalam Surah Al-Anbiya ayat 92, misalnya, menekankan persatuan umat Muslim melalui konsep tauhid, yang memperkuat keterikatan antar umat Islam di seluruh dunia. Globalisasi juga memunculkan dua tantangan ekstrem, yaitu ifrath (ekstremisme) dan tafrith (liberalisme), yang keduanya dianggap sebagai penyimpangan dari prinsip wasatiyyah atau moderasi yang diajarkan dalam Islam. Sikap ekstremisme dalam ibadah atau pandangan hukum, seperti yang ditunjukkan oleh perilaku kelompok Khawarij, menjadi ancaman bagi stabilitas sosial dan persatuan umat. Di sisi lain, sikap liberalisme yang longgar terhadap ajaran agama juga berpotensi mengaburkan nilai-nilai esensial Islam. Islam mengajarkan keseimbangan dalam beribadah dan bermuamalah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah yang memperingatkan bahaya sikap berlebihan atau mengabaikan syariat. Dengan menerapkan prinsip wasatiyyah, umat Islam dapat tetap teguh dalam menghadapi perubahan dan tantangan era globalisasi, sekaligus menjaga identitas Islam yang rahmatan lil ‘alamin—menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hal ini memungkinkan Islam untuk tetap relevan, moderat, dan adaptif dalam lingkungan global yang semakin kompleks, serta mendukung perdamaian dan kesejahteraan dunia.

Wallahu A’lam