Usul dan Furu' Akidah

Dalam mengkaji akidah perlu memperhatikan aspek ad-Dilalah, apakah ia bersifat Qath’i ataukah Zhanni. Dilihat dari aspek Qath’i ats-Tsubut kebenaran akidah jelas Qath’i al-Tsubut, namun redaksi pada beberapa persoalannya terdapat perselisihan yang perlu dipahami secara detail, teliti dan tepat, sebab ada persoalan yang bersifat Qath’i yaitu pasti (definitive) dan ada yang bersifat Zhanni (spekulatif). Oleh karena itu, dalam perkembangan dan dinamika pemikiran Islam kontemporer, saatnya untuk merajuk bingkai persatuan dengan menonjolkan unsur toleransi, mengedepankan nilai-nilai akidah yang sifatnya esensial dan bukan optional, sebab persolan akidah mengandung dual hal, yaitu: usul akidah yang disifati sebagai perkara esensial dan furu’ akidah yang disifati sebagai perkara optional.

Pertama: Perkara Usul Akidah

Usul Akidah adalah prinsip, asas dan tonggak agama (landmarks of religion), sumbernya (Qat’i Tsubut) dan dalilnyapun bersifat Qat’i (Qat’i Dilalah), di mana lafaznya tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat, sebab maknanya tunggal, sehingga tidak mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafaz itu. (Qat’i al-Tsubut and Qat’i al-Dilalah/Authenticated and Certain in it’s meaning).

Misalnya, dalil yang menunjukkan atas keesaan Allah swt dan kenabian Muhammad Saw. Oleh karena itu kalau ada umat yang menentang keesaan Allah Swt dan kenabian Muhammmad, maka ia keluar dari ajaran akidah Islam, sebab ia merupakan usul akidah yang bersifat Qath’i ats-Tsubut dan Qathi’i ad-Dilalah sehingga mengakibatkan orang tersebut dihukum kafir.

Pengakuan terhadap keesaan Allah swt dan kebenaran utusan Nabi Muhammad saw merupakan inti maqasid akidah, kalimat syahadat merupakan pintu surga, sehingga siapapun dari hamba Allah yang kekal bersyahadat hingga akhir hayatnya, maka haram baginya neraka .

Di antara persoalan usul akidah adalah, mentauhidkan Allah swt, mengakui adanya Malaikat, Rasul, Nabi dan Jin, meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir, mengimani kitab-kitab Allah swt yang diturunkan dari langit (Taurat, Injil dan al-Qur’an), fakta-fakta dalam al-Qur’an, kemaksuman nabi dan rasul, mu’jizat, hari kiamat, qadha dan qadar. Semua perkara ini masuk dalam rukun iman dalam Islam, sesuai dengan tuntutan keimanan dalam firman Allah swt:

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ “Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami ta’at”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”. (Surah Al-Baqarah: 285).

Dalam hadits dijelaskan secara panjang lebar pada pertemuan malaikat Jibril as dengan Rasul saw dalam sebuah majlis, dan diputuskan bahwa rukun iman ada enam perkara: Percaya kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat dan Qadha dan Qadar (Takdir) .

Kedua: Perkara Furu’ Akidah

Furu’ Akidah adalah persoalan akidah yang tidak bersifat prinsip, sumbernya (Qath’i Tsubut) dan dalilnya bersifat Zanni (Zanni ad-Dilalah), di mana lafaznya mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat, sebab maknanya tidak tunggal, sehingga mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafaz itu. (Qath’i al-Tsubut and Zanni ad-Dilalah/Authenticated but not Certain in its meaning).

Misalnya dalil yang menunjukkan melihat Allah swt di akhirat, sumbernya qath’i (Qath’i al-Tsubut ), sebab perkara melihat Allah swt disebutkan dalam al-Qur’an, seperti berikut: وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبها نَاظِرَةٌ “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat”. (Al-Qiyaamah:22-23).

Disebabkan dalilnya bersifat zanni (Zanni ad-Dilalah), maka persoalan melihat Allah merupakan persoalan furu’ dalam akidah dan bukan persoalan usul, karena para teolog Islam berbeda pandangan dalam memahami maksud yang sebenarnya dari ayat di atas. Dalam hal ini Aswaja (Asy’ariyah dan Maturidiyah) mengatakan bahwa umat Islam dapat melihat Allah swt dengan mata kepala, sementara Mu’tazilah menafikannya dan baginya kita hanya dapat melihat Allah melalui hati dan perasaan dan bukan dengan mata.

Kedua pandangan di atas bersifat opsional/pilihan, boleh diterima dan ditolak, sehingga tidak dapat dihukum kafir. Sebab aspek maqasid akidah berbicara bahwa yang terpenting adalah mengakui adanya melihat Allah swt di akhirat, tapi caranya boleh dengan mata dan boleh dengan perasaan hati .

Ketidak pahaman tentang perkara ini (usul dan furu’ akidah) dapat mengakibatkan pertentangan pandangan yang ekstrim dalam menilai benar tidaknya persoalan akidah yang diperdebatkan dan akan menjadi polemik yang mengarah kepada paham radikal, saling menghujat, menjatuhkan, dan parahnya sampai pada titik pengkafiran dan hal ini selalu bermotifkan “Ta’assub kelompok” yang dibangun atas keangkuhan, merasa paling hebat dan benar, tidak mau mendengar, anti kepada perbedaan, tidak mau disalahkan. Pada intinya kelompoknya saja yang selamat, surga bagi mereka dan yang lain masuk neraka. Dan ini merupakan tindakan takfir, yaitu seorang Muslim menuduh saudaranya sebagai Kafir. Perilaku ini sangat berbahaya dalam kalangan Islam, sebab ia mengambil hak cipta yang Maha Kuasa, menentukan tempat seseorang kepada tempat terakhir dari perjalanan manusia, adakah menuju Surga atau Neraka.

Pada dasarnya takfir berproses dari sifat ta’ssub (fanatik buta), yaitu merasa benar sendiri dengan pegangan ideologi/mazhab/golongan, kemudian sifat ini melahirkan sifat menyalahkan orang lain, mengeluarkan perkataan laknat dan berbagai sifat kebencian, kemudian sedikit demi sedikit melahirkan berbagai sikap ekstrim, seperti, tabdi’ (membid’ahkan), tadhlil (menyesatkan), tafsiq (memfasikkan), takfir (mengkafirkan) dan diakhiri dengan tarhib (mengancam/intimidasi/terorisme).

Apapun halnya, kelompok yang bertikai perlu menghayati secara benar dan pasti bahwa setiap manusia memiliki cara pandang sendiri, wawasan yang berbeda dan keyakinan yang berlainan. Dan cara yang terbaik adalah memaksimalkan kesadaran berpikir secara maqasid dalam melihat persoalan-persoalan akidah dan berbagai macam isunya. Bukan berfikir secara kontroversial dalam melihat problematika akidah yang diketengahkan.

Dengan demikian diperlukan penglibatan wacana maqasid akidah dalam menengahi pertentangan dan polemik akidah antara golongan dan kelompok, dan diharap kedepannya dapat memberikan nilai-nilai moderasi (wasatiyah) di tengah masyarakat.

Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam tanpa menghiraukan aliran sekiranya kita merenungkan ucapan Imam At-Thahawi:

وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَالَمْ يَسْتَحِلُّهُ “Kami tidak mengkafirkan seseorang dari umat Islam selama ia tidak menghalalkan dosa yang dibuat”.

Maksudnya, tidak perlu saling mengkafirkan antara umat Islam, karena itu adalah urusan Allah swt bukan manusia. Masalah takfir (kafir-mengkafir) berat karena berkaitan dengan urusan surga dan neraka. Di samping itu, tidak ada jaminan pada diri ataupun kelompok masing-masing mengenai kepastian untuk ke surga.

Sifat fanatik tidak akan pernah menyelesaikan masalah, bahkan mengeruhkan masalah yang ada. Sikap fanatik ini menyebabkan kemunduran kajian-kajian teologi Islam sehingga kandungan kitab-kitab klasik (kutub at-turats) dipenuhi dengan berbagai kecaman dan hinaan. Imam Yahya bin Muaz berpesan:

إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرُّهُ، وَإِنْ لَمْ تُفْرِحُهُ فَلاَ تَغُمُّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمُّهُ “Kalau engkau tidak sanggup membantu orang lain, jangan merugikan dia. Kalau engkau tidak sanggup menghiburkan orang lain, jangan membuatkan dia sedih. Sekiranya engkau tidak sanggup memuji orang lain, jangan mencelanya”.

Dalam etika beragama, Islam mengajarkan supaya tidak memaksa orang lain. Tugas kita hanya menyampaikan, bukan memaksa golongan lain menyertai golongan kita, sebagaimana ayat Allah Swt.:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّـاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَانفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Tidak ada paksaan dalam agama (memasuki Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Surah Al-Baqarah, ayat 256)

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Surah Hud, ayat 118)

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?. (Surah Yunus, ayat 99)

Tidak salah berbeza pendapat, asalkan perbezaan itu tidak membawa kepada permusuhan. Kita boleh menganggap golongan lain yang bersalah, namun tidak boleh mencela dan mencaci. Kita perlu menanamkan sikap toleransi bukan ta’ashub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain. Utamakan agama bukan mazhab dan golongan.